Penyakit celiac merupakan kondisi autoimun yang dipicu oleh konsumsi gluten — protein yang ditemukan dalam gandum, barley, dan rye. Meski semakin banyak orang mengenalnya, masih banyak mitos seputar penyakit ini yang menyesatkan dan membuat kesadaran terhadap kondisi ini kurang tepat.
Dalam artikel ini, kita akan mengulas empat mitos umum tentang penyakit celiac, serta fakta-fakta ilmiah yang mendasarinya agar Anda bisa lebih memahami perbedaan antara celiac disease, gluten intolerance, dan pentingnya diet bebas gluten.
Mitos #1: Penyakit Celiac Umumnya Didiagnosis Sejak Kecil
Faktanya, sebagian besar penderita penyakit celiac baru didiagnosis di usia dewasa. Berdasarkan data dari National Celiac Association, usia rata-rata diagnosis berkisar antara 46 hingga 56 tahun, bahkan sekitar 25% orang baru terdiagnosis setelah usia 60 tahun.
Celiac lebih sering terjadi pada wanita dan mereka yang memiliki kondisi autoimun lainnya seperti diabetes tipe 1 atau Hashimoto’s thyroiditis. Stres fisik atau emosional — seperti infeksi virus, operasi, atau tekanan hidup — juga diyakini dapat memicu munculnya gejala celiac meskipun sebelumnya tidak terlihat.
Mitos #2: Penyakit Celiac Hanya Menyerang Saluran Pencernaan
Salah besar. Penyakit celiac memang menyerang lapisan usus halus dengan merusak struktur villi (jonjot usus) yang berfungsi menyerap nutrisi. Namun, gejalanya bisa menjalar ke berbagai sistem tubuh.
Beberapa gejala non-pencernaan yang umum meliputi:
- Brain fog (sulit berkonsentrasi)
- Nyeri otot dan sendi
- Gangguan menstruasi
- Kelelahan kronis
Artinya, seseorang bisa mengalami celiac tanpa gejala diare atau perut kembung, dan justru menderita akibat kerusakan sistemik yang kurang disadari.
Mitos #3: Semua yang Tidak Toleran Gluten Pasti Mengidap Celiac
Tidak semua orang yang merasa tidak nyaman setelah makan gluten berarti mengidap celiac. Ada beberapa kondisi berbeda yang perlu dibedakan.
Pertama, penyakit celiac adalah kondisi autoimun yang dapat didiagnosis lewat tes darah untuk mendeteksi antibodi tertentu dan konfirmasi lewat biopsi usus kecil guna melihat kerusakan pada dinding usus.
Sementara itu, gluten intolerance atau sensitivitas gluten non-celiac adalah kondisi di mana seseorang mengalami gejala seperti perut kembung, nyeri, brain fog, dan kelelahan setelah makan gluten, tetapi tidak menunjukkan kerusakan usus atau respon antibodi seperti pada penderita celiac.
Selain itu, ada juga kemungkinan lain, yaitu sensitivitas terhadap FODMAPs (karbohidrat rantai pendek yang juga ditemukan dalam gandum dan makanan lainnya), atau bahkan alergi gandum yang memicu reaksi alergi seperti gatal-gatal, ruam, hidung tersumbat, hingga reaksi serius seperti anafilaksis.
Mitos #4: Diet Bebas Gluten Pasti Menyembuhkan Gejala Celiac
Meski satu-satunya “obat” penyakit celiac saat ini adalah menghindari semua makanan mengandung gluten, tidak semua pasien merasakan perbaikan total.
Kondisi ini disebut sebagai nonresponsive celiac disease, yang terjadi pada sekitar 1 dari 5 penderita. Bahkan ketika sudah menjalankan diet bebas gluten dengan disiplin, gejala masih bisa muncul akibat kontaminasi silang — misalnya saat makan di restoran atau mengonsumsi makanan olahan yang ternyata tidak sepenuhnya bebas gluten.
Beberapa pendekatan baru tengah dikembangkan untuk membantu mereka yang masih mengalami gejala meski sudah bebas gluten, seperti:
- Enzim pemecah gluten yang dapat dikonsumsi saat tidak sengaja mengonsumsi gluten, mirip seperti enzim laktase untuk penderita intoleransi laktosa.
- Terapi imun yang menekan reaksi sistem kekebalan terhadap gluten.
- Reprogramming sistem imun agar tubuh tidak lagi bereaksi berlebihan terhadap gluten.
Waspadai Gejala dan Edukasi Diri tentang Celiac Disease
Meningkatkan pemahaman tentang penyakit celiac bisa membantu banyak orang menghindari diagnosis yang terlambat dan komplikasi serius seperti anemia, osteoporosis, dan gangguan neurologis.
Jika Anda mencurigai memiliki gejala celiac atau merasa tidak nyaman setelah mengkonsumsi gluten, segera konsultasikan ke dokter dan minta tes yang sesuai.
Link Terkait untuk Informasi Lebih Lanjut:
Referensi : Harvard Health Publishing