COVID-19 telah memisahkan kita dengan banyak teman, saudara dan rekan kerja. Kita tidak diizinkan untuk berkumpul merayakan hari raya atau berkabung dengan adat istiadat yang sering kita laksankan.
Jutaan umat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, merasakan agama terdampak karantina.
Indonesia adalah negara beragama, dan Agama adalah salah satu bagian besar dari kehidupan sehari-hari.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di zona merah menyatakan kegiatan keagamaan dilakukan di rumah dan dihadiri keluarga terbatas. Ini bukan tanpa alasan, di Korea Selatan, seorang wanita yang positif COVID-19 berkontribusi lebih dari 60% penularan saat dirinya menghadiri 4 kali pelayanan ibadah di gerejanya.
Apapun agamanya, semua melakukan penyesuaian dalam beribadah dan menyelenggarakan hari raya di awal tahun 2020.
Bulan Maret, April dan Mei 2020 penuh dengan hari raya keagamaan:
22 Maret, Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW
25 Maret, Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1942
10 April, Wafat Isa Al Masih
7 Mei, Hari Raya Waisak 2564
21 Mei, Kenaikan Isa Al Masih
24-25 Mei, Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriyah
Bagi yang beruntung, dapat menikmati beribadah menggunakan teknologi. Ada yang berkumpul lewat video conference, menyaksikan siaran langsung lewat gawai, atau menyaksikan siaran dari TV.
<b>Memenuhi Kebutuhan Jasmani dan Rohani</b>
Bukan sekedar keperluan rohani, sebagian masyarakat bergantung kepada komunitas keagamaan untuk mendapatkan makanan yang cukup dan bernutrisi. Tempat ibadah bukan hanya tempat berkumpul tetapi menjadi tempat untuk dukungan ekonomi, emosional dan psikis.
Di Indonesia, masjid identik dengan tempat berkumpul yang terbuka bagi siapa saja yang memerlukan bantuan. Kali ini, masjid tak dapat memberikan perlindungan, tetapi harus meminta umatnya dan semua orang untuk tidak berkumpul di masjid.
<b>Berkabung di Tengah Pandemi</b>
Masa yang memerlukan dukungan emosional dan psikis paling tinggi adalah saat umat kehilangan orang yang disayangi. Pandemi kali ini membatasi adat pemakaman yang menggambarkan budaya kita untuk mengucapkan selamat jalan.
Tak dapat memeluk keluarga dan menghadiri pemakaman saudara membuat berkabung rasanya belum tuntas.
Ketika beribadah jarak jauh masih dapat didekatkan dengan gawai, berkabung jarak jauh memiliki makna yang berbeda. Terutama bagi korban COVID-19 yang harus melewati detik-detik terakhirnya tanpa dampingan keluarga.
Pembatasan Sosial tidak bisa dianggap hal sepele untuk kesehatan mental para umat. Memang… beribadah tidak memerlukan gedung, tetapi dalam masa pandemi ini, umat memerlukan dukungan satu sama lain. Ini menunjukkan betapa berharganya perhatian kita kepada sesama manusia.
Sources:
https://www.aljazeera.com/programmes/start-here/2020/04/faith-lockdown-start-200426121508818.html